Wednesday, January 21, 2015

Budaya leluhur

Rampogan Macan

Ada salah satu tradisi jawa kuno yang di sebut dengan ‘Rampogan Macan’ yang berarti rebutan atau rayahan macan. Tradisi tersebut di lakukan di alun-alun Karaton Surakarta sementara penonton duduk bersama di Pagelaran.Biasanya Pada acar ini dulu masih banayk yang mengikuti dan menonton,tetapi sekarang kecintaan terhadap budaya jawa dan minatnya makin menurun.Harusnya kita bisa menjaga warisan budaya leluhur kita.

Awal pertama kali di adakannya Rampogan ini tidak jelas sejak kapan, ada yang memperkirakan sudah sejak zama hindu-budha. Namun yang pasti acara ini sangat terkenal dan sering di selenggarakan pada abad 18-19. Pada awalnya sering di lakukan di Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta dan merupakan tradisi para ningrat. Di Kesunanan Surakarta nampaknya sudah mulai ada sejak zaman Amangkurat II. Acara di laksanakan di alun-alun utara yang biasanya di adakan untuk menyambut tamu agung. Tamu agung ini biasanya adalah para pembesar dari penjajah Belanda seperti Gubernur Jenderal. Pada awalnya yang sering di adu dalam Rampogan Macan ini adalah macan dengan banteng.

Tercatata ialah Paku Buwono X yang sangat gemar mengadakan acara Rampogan Macan ini. Macan dan hewan-hewan liar lainnya memang sengaja di pelihara dalam kandang di sudut alun-alun. Hewan liar ini adalah hasil buruan atau tangkapan yang nantnya akan di pagelarkan dalam acara Rampogan.
Acara biasanya mulai di laksanakan pada pagi hari dan puncak acara berupa pertarungan antara macan dan banteng pada siang hari. Awal acara pada pagi harinya setelahpara pembesar datang dan berkumpul maka para prajuit bersiap-siap di tengah alun-alun dengan membentuk formasi mengelilingi arena pertarungan. Para prajurit lengkap dengan baju perangnya dengan tombak yang berbaris dalam -5 lapis barisan secara rapat. Para pembesar menyaksikan dari sebuah panggung yang di namakan pagelaran. Biasanya Sultan atau Sunan akan duduk berdampingan dengan Gubernur Jenderal. Sedang masyarakat menonton berdesakan di luar arena dengan terkadang sampai menaiki pohon-pohon agar dapat leluasa menyaksikan pertarungan.

Setelah semuanya siap maka kandang macan akan di letakkan di tengan arena dan seorang abdi dalem yang pemberani seraya berjoget (tayungan) akan menghampiri dan menaiki kandang serta membuka tutup kandang. Terkadang setelah kandang terbukatidak serta merta sang macan akan segera mengamuk memasuki arena. Tak jarang sang macan malah bermalasan atau terheran-heran karena cahaya yang menyilaukan dan banyaknya manusia, oleh karena itu biasanya prajurit akan menakut-nakutinya dengan api, tusukantombak dan berbagai cara agar macan mengamuk. Begitu pula dengan banteng yang di iring ke alun-alun, agar ia mau mengamuk biasanya di beri dengan air campuran cabe rawit agar badannya kepanasan dan ia megamuk.

Banteng yang menggerakannya kurang gesit di banding macan ini biasanya malah lebih sering emenangkan pertarungan karena badannya lebih besar dan tanduk banteng biasanya di kerik terlebih dulu sahingga menjadi runcing. Tak jarang pula sang macan dapat memenangkan pertarungan ini walau dengan banyak luka, dan biasanya macan tersebut mati karena luka-luka dari banteng tersebut.
Macan yang masih hidup akan di bunuh beramai-ramai dengan cara di tombak oleh prajurit yang ada. Macan yang berlari kesana kemari  akan terus di tombak dari segala penjuru sampai akhirnya kelelahan dan kehabisan darah lalu mati. Namun tak jarang sang macan dapat menembut barikade prajuritdan lari ke luar arena. Walau tampak menegangkan namun inilah momen yang sering di nanti. Macan yang lari ini tidak jelas akan menuju ke mana dan para penonton akan ketakutan lalu berlari ke segala penjuru, sementara prajurit yang pemberani akan terus mengejar sampai dapat dan biasanya macan memang akan mati pada akhirnya. Inilah yang di tnggu dalam rampogan macan ini, di mana banyak simbolisasi dalam acara ini.

Imbolisasi memang sesuatu hal yang sangat akrab di lakoni oleh orang Jawa. Simbolisasi ini pula yang dapat melanggengkan hegemoni kekuasaan pihak kerajaan. Macan yang mati terluka dengan ribuan hujaman tombak sering di gunakan sebagai penggabaran tokoh wa ini pula yang dapat melanggengkan hegemoni kekuasaan pihak kerajaan. Macan yang mati terluka dengan ribuan hujaman tombak sering di gunakan sebagai penggabaran tokoh pewayangan Abimayu ketika menjadi Senapati saat perang Baratayuda Jayabinangun, saat di keroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah. Urutan acara yang di buat sedemikian rupa juga sering di luputi hal magis juga membuat sekat-sekat keagungan dari sebuah kekuasaan Sultan yang mempunyai batas dengan rakyatnya. Acara pagelaran macan ini juga ingin menunjukkan bahwa adanya kemurahan hati dari Sultan bahwa macan ini dapat di tundukkan oleh kekuasaannya dan masyarakat jelata boleh melihatnya secara langsung dan beramai-ramai.

Namun ada pula yang menyebutkan bahwa macan mempresentasikan kekuasaan kolonial Belanda dan Banteng adalah bangsa pribumi. Oleh karena tunduknya kekuasaan pribumi terhadap penjajah maka perasaan emosional ini di lampiaskan dalam bentuk Rampogan Macan di mana di harapkan banteng akan menjadi pemenang seperti biasanya dan macan yang buas akan di tumpas bersama-sama. Walau memang sebenarnya pertarungan hewan liar ini ada banyak macamnya.
Seperti di sebutkan di atas bahwa Rampogan Macan adalah tradisi ningrat yang biasanya di laksanakan oleh perintah Sultan, maka di Jawa Timur pada akhir abad ke 1 hal ini banyak di lakukan di alun-alun kabupaten yang di selenggarakan oleh para bupati. Rampogan Macan pada masa itu, di daerah Timur nampaknya lebih banyak merupakan pembantaian terhadap macan ketimbang pertarungan antara macan dengan banteng.

Tercatat di kota Kediri dan Blitar yang paling sering mengadakan acara ini walau di kabupaten lain juga pernah mengadakannya. Di sini walau sebagian besar acara adalah sama seperti yang di adakan di Alun-alun Keraton, namun bukan prejurit yang berhadapan dengan sang macan, namun para pemberani dari berbagai kalangan. Acara seperti ini biasanya di lakukan pada hari raya seperti Hari Raya Idul Fitri. Di sini macan bukan merupakan peliharaan bupati, tetapi merupakan tangkapan penduduk.

Kandang-kandang macan di sini lebih rumit dalam hal pembuatan dan cara membukanya. Kandang biasanya terbuat dari pohon aren dan ketika di letakkan di tengah alun-alun memakai semacam tali yang bila di tarik akan langsung membuat kandang itu terbuka berantakan. Namun sebelumnya terdapat pengunci yang di buka oleh seorang kepala desa yang di sebut Gandek. Ia beraksi selayaknya abdi dalem di acara Rampogan ala Keraton.


Acara ini lantas tidak pernah di lakukan lagi karena dua hal. Pertama, karena populasi harimau dan macan jawa semakin berkurang. Kedua, karena pemerintah Belanda melarang acara ini pada tahun 1905

No comments:

Post a Comment